Dilema Mindful Parenting by Ibu Halimah: Apakah Marah Cara Yang Tepat Untuk Anak?

Estimasi waktu membaca: 4 menit

“Orangtua itu marah tanda sayang!” Rasanya kalimat itu sudah didengar hampir seluruh anak di Indonesia. Ketika kecil, saat mendengar hal tersebut saya bertanya-tanya, bagaimana mungkin rasa sayang diekspresikan dengan sangat seram, disertai pelototan, bentakan mata atau bahkan cubitan? Bagaimana mungkin, dua hal yang jelas-jelas berbeda (marah dan sayang) adalah sama? Apakah ini dilema mindful parenting yang ibu rasakan?

“Kalau kamu masih dimarahin artinya masih disayang. Kalau apa-apa didiemin, baru artinya udah nggak sayang, karena udah capek bilangin kamu!” ujar ibu saya suatu kali. "Tapi mengapa dimarahi dan didiamkan rasanya sama-sama sakit, ya?", pikirku ketika itu.

Ketika saya dewasa, saya baru mempelajari dan menyadari bahwa marah adalah emosi lapis kedua. Rasa marah tidak pernah datang sendiri, dibalik rasa marah ada rasa lain yang selalu bersembunyi. Berbeda dengan rasa bahagia yang hadir sendiri, marah biasanya hadir bersamaan dengan rasa lain seperti takut, malu, lelah, tersinggung, terancam dan sebagainya. Saya tarik kembali ingatan saya ke masa kecil, saya sadar bahwa seringkali ibu tidak benar-benar marah tapi dia lelah. Seiring dengan redanya rasa lelah, biasanya ibu tidak lagi marah.

Ibu marah ketika saya minta sesuatu saat dia sedang terburu-buru menyiapkan bahan-bahan untuk dagangan di pagi hari. Ibu marah ketika Ayah tidak kunjung pulang dari kegiatan memancingnya sementara ibu sendiri sudah masak sejak pagi buta dan belum punya waktu istirahat saat malam tiba. Ibu marah ketika saya dan kakak-kakak saya bermain dengan suara tertawa nyaring saat ibu mencoba tidur siang sebentar. Dulu, yang kulihat, ibuku selalu marah. Sekarang, saya paham bahwa ibu lelah. Semakin menumpuk lelahnya, semakin gampang tersulut amarahnya.

Meme-Mindful Parenting-bu-halimah.png

Baca juga: Gaya Parenting Bisa Pengaruhi Keputusan Finansial Anak di Masa Depan. Apa Iya??

Yuk, Latihan Mindful Parenting

Ketika saya mempelajari ilmu mindful parenting (metode ini disebut juga gentle parenting, conscious parenting atau respectful parenting), saya mencoba untuk berani mengenali rasa marah saya. Apakah saya marah karena anak saya melompat-lompat di sofa atau saya takut dia terjatuh? Oh, ternyata saya takut dia terluka jika terjatuh dari sofa yang sempit. Yang bermasalah, bukan lompatnya, tapi posisinya. Maka yang keluar dari mulut saya bukan lagi “jangan lompat-lompat! Nanti jatuh!”. Tapi, “Nak, melompatlah di halaman rumah. Mau melopat sambil main pedang-pedangan? Ini pedangnya.”

Apakah rasa marah saya masih ada? Tentu. Masih ingin berteriak membentak? Iya. Tapi saya sadar membentak tidak akan membuat anak saya berhenti melompat di kemudian hari. Membentak tidak pula membuat saya lebih lega, malah lebih sering membuat saya merasa bersalah pada anak.

Saya menemukan cara baru untuk marah. Saya marah, tapi tidak lagi membentak untuk mengungkapkan marah itu. Saya sadari bahwa ada sesuatu di balik kemarahan saya: rasa takut anak saya terluka. Saat saya menemukan solusi untuk rasa takut itu, rasa marahnya mereda. Saya marah dengan kesadaran. Mindful.

Tentu, bagi sebagian orang, ini adalah hal mustahil. Tidak sedikit yang menganggap ini munafik, karena stigma bahwa yang namanya emak-emak ya wajar marah-marah, wajar ngomel setiap hari.

Ibu, kita ini manusia. Sama seperti kita berhak marah, kita berhak juga loh menjalani kehidupan kita sebagai ibu dengan senyum, kelemah-lembutan dan perasaan riang. Masa kita menjadi ibu adalah masa yang sangat panjang. Bisa hingga dua puluh tahun. Apakah kita mau menghabiskan masa tersebut untuk ngomel-ngomel nyaris setiap hari?

Jadi, mari kita berlatih mindful. Apa yang paling sering membuat ibu marah? Apakah setiap pulang dari rumah mertua perasaan jadi tidak menentu dan kita gampang marah? Apa yang terjadi di rumah mertua? Apa kita merasa dipermalukan karena anak kita kurus, misalnya?

Mari kita terima nggak enaknya rasa dipermalukan itu. Mungkin muncul di pikiran kita, “saya merasa nggak dihargai. Saya sudah berusaha sekuat tenaga mengasuh anak tanpa bantuan, tapi anak saya malah dibilang kurus karena saya tidak telaten mengurus”. Mari kita fokus di perasaan utamanya yaitu “merasa tidak dihargai”. Ketika orang lain tidak mampu menghargai usaha kita, usahakan diri kita sendiri mampu menghargai usaha kita sendiri.

Katakanlah pada diri kita “meski berat badan anak saya belum ideal, tapi saya berhasil membesarkan dia menjadi anak yang aktif, periang, sehat dan pintar. Memang, saya masih punya PR untuk mengidealkan berat badannya, tapi itu bukan berarti saya ibu yang jahat. Buktinya, saya masih terus berusaha mengerjakan PR tersebut, betapa sulitpun mengerjakannya. Terima kasih ya, diriku, sudah terus berusaha meskipun tugasmu sulit.”

Dialog-dialog positif dengan diri sendiri harus sering-sering dilatih. Karena mungkin saja, kita sering marah karena dalam pikiran kita, kita sering memarahi diri sendiri. “Kok aku nggak becus banget ya jadi ibu? Kok aku nggak bisa ya jadi seperti ibu-ibu lain? Kok aku udah bertahun-tahun jadi ibu masih belum pinter juga?” Maka barangkali, yang membuat kita sulit untuk berlemah-lembut kepada anak adalah karena kita sendiri (secara tidak sadar) suka membentak diri sendiri.

Meme-Mindful Parenting.png

Baca juga: Anti Pusing Hadapi Anak Tantrum, Intip Cara Mengatasinya Yuk, Bu!

Mengelola Rasa Marah Agar Tidak Berlarut

Sekarang, kita sudah tahu bahwa marah itu adalah udang di balik bakwan ya, Bu. Kita tentu boleh marah, itu adalah yang manusiawi sekali. Hanya saja, rasa marah ini jika kita tidak kenali, dia bisa menimbulkan banyak masalah dalam diri kita dan juga anak kita.

Ketika kita marah dengan membentak, berteriak atau bahkan mendiamkan anak selama berhari-hari sebagai hukuman, anak akan merasa tertekan. Ketika kita membentuk pola kebiasaan (setiap marah berteriak, setiap marah diam berhari-hari), maka anak akan merasakan pola tekanan itu. Rasa tertekan ini berubah jadi stress berkepanjangan dan akhirnya mempengaruhi kesehatan fisik anak.

Penelitian di Amerika Serikat dari Profesor Andrea C. Buhler Wassmann menunjukkan bahwa anak yang sering mengalami masalah kesehatan yang berhubungan dengan sistem imun (sering batuk-flu, meski sudah dijaga gizi dan kebersihannya) dan saluran cerna (sering mual-muntah tanpa sebab yang jelas) kemungkinan adalah reaksi dari stress yang tidak terselesaikan.

Tidak hanya anak, jika kita sebagai orang dewasa sering mengalami sakit di fisik tanpa alasan yang jelas. Sering pegal-pegal tanpa sebab yang pasti, tiba-tiba pusing dan lain-lain, maka mungkin kita juga sedang mengalami stress tersebut.

Maka, mari kita mengelola rasa marah kita. Setiap kita marah, terima rasa marah itu. Marah itu tidak perlu diledakkan lewat teriakan atau bentakan, tidak perlu dipendam dengan berpura-pura tidak merasakannya, tidak perlu juga dipermalukan dengan kalimat, “Duh, aku jadi ibu kok nggak bisa sabar, sih?”.

Baca juga: Tips PDKT Sama Anak, Biar Tambah Akrab dan Kompak!

Tapi terimalah rasa marah itu apa adanya. “Ya, saya marah. Saya marah karena sejak pagi buta saya sudah mengerjakan ini-itu dan anak malah merengek minta diambilkan sesuatu yang bisa diambilnya sendiri. Saya juga marah karena suami pulang-pulang langsung main hape, bukannya ngajak saya ngobrol dan bertanya bagaimana keadaan saya. Saya boleh marah.” Katakan hal itu sambil menarik napas.

Menangislah, jika ingin menangis. Itu jauh lebih tepat daripada berteriak kepada anak. Terus bernapas pelan-pelan sambil menerima rasa marah itu. Ketika reda, kita akan bisa melihat lebih jelas. “Oh, aku harus melatih anakku untuk mandiri mengambil apa-apa yang bisa dia ambil sendiri. Dan aku harus komunikasikan ke suamiku bahwa aku merindukannya, aku ingin diajak ngobrol setelah dia pulang dari bekerja.” Kedua hal tersebut, sangat bisa dikomunikasikan tanpa ngambek, berteriak atau membentak.

Ibu, menerapkan mindful parenting tentu tidak mudah. Kita butuh latihan setiap hari. Kadang berhasil, kadang gagal, tidak masalah. Semakin banyak berlatih, yakinlah ibu makin jago mengelola emosi. Toh, pada akhirnya kita tidak ingin jadi ibu yang sempurna. Kita mau jadi ibu yang bahagia.

Ibu bisa dapatkan informasi parenting seperti mindful parenting ini di Komunitas ibu makin Jago. Tidak hanya parenting, tapi ibu bisa berbagi soal self development, mental health, hingga saran praktis seputar financial menggunakan aplikasi Jago.

Mau bergabung? Klik di sini untuk menuju ke Telegram ibu Makin Jago yuk!

Penulis: Ibu Halimah dari @igdailyjour

infografis-Mindful.png


Share:

Artikel Terkait

Mental Health - Jan. 14, 2023

Gaya Parenting Bisa Pengaruhi Keputusan Finansial Anak di Masa Depan. Apa Iya??

Baca selengkapnya >
Mental Health - Nov. 18, 2021

Yakin Keuangan Ibu Sehat? Jangan - jangan …

Baca selengkapnya >
Cek Artikel Serupa

Comments

Ini reminder banget buat aku.. aku tuh masih sering kelepasan marah sama anak. :(

Mita

Bu Mita, aku juga merasakan hal yang sama, suka kelepasan marah juga nih.

Rahel

Add a Comment




Berlangganan

Jangan kelewatan artikel dan berita terbaru agar #Ibumakinjago ngatur cuan, jalanin bisnis, dan ngurus keluarga.

© 2023. Persembahan Ibu Punya Mimpi dan Bank Jago